Beranjak Dewasa

Semakin lama semakin berubah sifatnya. Pendewasaannya, pemikirannya, rasa toleransinya. Sayangnya untuk sebagian, lainnya kian menjadi kanak-kanak. Beberapa pergi menjauh dari kawanannya. Ada yang kembali, ada juga yang mati. Rasanya sudah pantas kita demikian, hidup saling ketergantungan, hidup saling tidak peduli.

Bara Ranca Upas

Mari, kita kembali seperti dulu. Pada malam dimana kita mengigil hebatnya. Pada malam dimana para kawan tidak pada layar gadgetnya. Pada malam dimana kita saling menghina.. tertawa.. sampai lelah lalu tertidur bersama, kemudian terbangun diantara kabut-kabut Ranca Upas.

Berbeda

Tebing-tebing yang kita sambangi dulu kini tak sama lagi. Di puncak ini aku masih berdiri sendiri, menyepi dari detik-detik yang membunuh. Setapak yang kita lalui tak sama lagi, kau mengemban jalan kanan, sedangkan aku masih tetap pada kirinya. Kau menjadi pengagum matahari, aku menetap pada rembulan.

Menjadi..

Kepada langit kita bersua. Di tanah ini kita saling berpijak, berlarian tak menentu, berharap tapi tak saling menatap, bertemu tapi tidak bertukar rindu. Kini pohon-pohon telah mati, sungai mengering, daun menguning. Semesta menjadi pembatas dua dunia, kau dan aku. Akhirnya pena sampai pada ujungunya. Setelah semua titik, setelah semua koma.

Ketakutan

Tertutup sudah jalanku. Belukar tumbuh dimana-mana, jurang tak berujung pada akhirnya. Burung-burung berterbangan menjauh, api berkoar-koar dari balik dinding rumah di tengah hutan sana. Aku kemari tetapi longsor menahanku di perjalanannya. Aku kembali pulang, tapi tak ada siapapun. Kemudian ia mati, ditemukan pada sisa-sisa pagi.

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑