Sebuah Pemikiran : Tentang Bagaimana Seharunya Bersikap

Di malam ke tujuh Bulan Ramadhan; di tengah pandemi covid-19; yang melelahkan dan menguras pikiran. Walaupun yang dilakukan hanya sebatas rebahan dan berselancar di dunia maya, tapi nyatanya; itu lebih melelahkan daripada bersepeda pulang pergi ke Nagreg dengan jarak 100 kilometer-an.

Dasar kaum rebahan!

**

Berangkat dari judul tulisan ini, yang saya garis bawahi ialah Tentang Bagaimana Seharusnya Bersikap, merujuk kepada teman-teman saya di himpunan saya semasa SMA, yaitu Pecinta Alam. Baik yang seumuran dengan saya, sedikit di bawah, ataupun teman-teman yang akan dan baru lulus menempuh masa putih abu. Kita biasa menyebutnya alumni.

Tulisan ini hanya merupakan sedikit dari buah pemikiran saya berdasarkan dari apa yang sudah saya lakukan, saya alami dan saya dapatkan selama kurang lebih 8 tahun aktif berkecimpung di dalamnya.


Sedikit melihat ke belakang3 Agustus 2019 saya akhirnya lengser dari masa jabatan saya sebagai Ketua Dewan Pekerja Musyawarah Anggota (DPMA). Setelah menjabat dari tahun 2015, satu tahun selepas saya lulus dari SMA. Yap, satu tahun.

Mungkin bagi sebagian orang akan bingung apa yang akan mereka lakukan setelah lepas dari kewajiban menjadi anak sekolah. Menjadi alumni, pada dasarnya bukanlah merupakan sebuah kewajiban lagi, untuk ikut serta secara aktif di organisasi ini, jika dilihat dari AD/ART organisasi. Begitupun saya, layaknya sebagian besar (atau bahkan terlalu banyak) alumni, lepas dari kewajiban tersebut sangatlah menyenangkan. Bebas dan tidak terikat. Tapi… apakah setelah terlepasnya kewajiban tersebut tidak ada tanggung jawab di belakangnya?

2015 silam, saya terpilih menjadi orang itu. Yang dimana ada tanggung jawab yang harus saya selesaikan, setidaknya dengan 5 orang anggota yang saya pilih berdasarkan kedekatan. Satu tahun itu, bukanlah waktu yang cukup untuk melihat keseluruhan organisasi secara luar, secara pandangan alumni. Masih minim dan begitu abstrak. Tapi disitu pendewasaan ini dimulai.

Bulan-bulan berlalu, tahun berganti. Masa kepengurusan Dewan Pengurus-pun demikian. Banyak wajah baru, individu baru, dengan pemikiran-pemikiran hebat namun tak beraturan. Banyak masalah, tentu. Banyak perbedaan pendapat, tentu. Perselisihan tak terhindarkan sampai akhirnya saya selesai. Digantikan oleh ketua selanjutnya. Saya kira, itu merupakan titik selesai saya. Namun ternyata tidak..

Bulan pertama, kedua, masih ada beberapa yang menanyakan ini itu, minta tolong ini itu. Tentu saya bantu, walau tidak seintens dahulu. Sampai pada bulan kemarin, April 2020, seorang adik menyapa secara daring. Iya, itu kamu Pangersa.

Dari apa yang dia tuturkan, saya memahaminya dan saya menyimpulkan; dia kebingungan. Kebingungan bagaimana menemukan jalan keluar, atau jalan terbaik yang harus dipilih agar regenerasi bisa berjalan, agar organisasi tetap hidup. Pada awalnya saya sedikit malas untuk menjawabnya karena sedang ada hal lain yang harus saya selesaikan (maaf ya, Pangersa. Bukan salah kamu) tapi.. saya HARUS. Karena sayalah orangnya, sayalah yang dia tanyakan, dan sayalah orang yang mungkin dia berikan sedikit kepercayaan untuk setidaknya bisa memberikan sedikit solusi untuk keluar dari kebingungan itu.

Namun, kali ini sayapun kebingungan.

Entah apa yang saya ucapkan merupakan jalan keluarnya, atau jalan terbaik dari kebingungan tersebut. Saya sendiri tidak tahu (maaf ya, Pangersa. Ini saya yang salah). Setidaknya itulah solusi terbaik, tentu dari sudut pandang saya.

Beberapa hari setelahnya, masih terpikirkan oleh saya; apakah jawaban yang saya berikan kemarin-kemarin itu sudah cukup untuk menjawab kebingungan tersebut? atau malah belum sama sekali. Setidaknya (lagi) saya sudah memberikan yang terbaik yang saya miliki, yang saya punya.

**

Hari-hari menjalani pandemi kini semakin membosankan, ditambah lagi, karena beberapa belas buku saya yang pernah saya titipkan di sekretariat untuk dapat dibaca lagi oleh yang lain, belum juga kembali ke saya. SATUPUN.

Setelah semua buku di rak meja habis terbaca, mau tidak mau saya membaca artikel dari internet. Salah satu artikel yang saya baca tersebut memuat perkataan dari Ki Hajar Dewantara;

 

Ing Ngarsa sung Tuladha,

Ing Ngadya Mangun Karsa,

Tut Wuri Handayani.

 

Dari perkataan Ki Hajar Dewantara itulah, sekarang ini, benar-benar baru sekarang ini, saya dapat menjawab. Bagaimana Seharusnya Bersikap; Menjadi Seorang Alumni.

Sekiranya masih bisa dan diberi waktu,

Jadilah sosok pertama, Ing Ngarsa sung Tuladha. Yang baik lagi teladan.

pun sosok kedua, Ing Nadya Mangun Karsa. Yang dekat lagi membangun.

sampai sosok ketiga, Tut Wuri Handayani. Yang ikhlas lagi penyabar.

 

Saya rasa sudah waktunya dan seharusnya, saya-dan yang sudah-sudah, menempati sosok ketiga tersebut. Tidak lagi pertama, tidak lagi kedua.

 

Bandung, 1 Mei 2020

01.03, dini hari.

 

Leave a comment

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑